Filsafat Pragmatisme Adalah

Filsafat Pragmatisme Adalah

Secara umum, pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sebuah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan yang nyata, oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif dan tidak mutlak. Namun, ada pendapat yang berbeda mengenai pengertian pragmatisme menurut para ahli berikut ini:

Pragmatisme adalah suatu pemahaman logika untuk membuat sesuatu ide menjadi jelas dan terang sehingga menjadi berarti atau metode untuk menterjemahkan makna dari ide-ide.

Pragmatisme adalah lawan dari idealis yaitu konsep yang lebih mengutamakam untuk menempuh cara atau jalur yang bersifat jangka pendek yaitu melakukan hal-hal yang bersifat praktis dan mengesampingkan sisi ketidakbergunaan

Pragmatisme adalah sebuah konsep kebenaran secara logika pengamatan dengan melihat akibat secara praktis.

Pragmatisme adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui. Untuk mengukur kebenaran suatu konsep seseorang harus mempertimbangkan apa konsekuensi logis penerapan konsep tersebut.

Pragmatisme adalah pondasi untuk mengatasi berbagai macam masalah kehidupan manusia dan yang menentukan kualitas seseorang adalah adanya pendidikan dalam diri manusia tersebut.

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Netralitas adalah suatu kecenderungan untuk tidak memihak dalam suatu konflik (fisik atau ideologis),[1][2][3] yang mungkin tidak menunjukkan bahwa pihak-pihak yang netral tidak berpihak. Dalam penggunaan sehari-hari isitlah netral bisa identik dengan tidak bias. Namun, bias adalah favoritisme terhadap pihak tertentu,[4][5] yang berbeda dengan kecenderungan untuk bertindak atas favoritisme tersebut.

Netralitas berbeda (meskipun tidak eksklusif) dari apatis, ketidaktahuan, ketidakpedulian, pemikiran ganda, kesetaraan,[6] kesepakatan, dan objektivitas. Apatis dan ketidakpedulian masing-masing menyiratkan tingkat kecerobohan tentang subjek, meskipun seseorang yang menunjukkan netralitas mungkin merasa bias terhadap subjek tetapi memilih untuk tidak bertindak berdasarkan itu. Seseorang yang netral juga dapat mengetahui dengan baik tentang suatu subjek. Karena mereka dapat menjadi bias, orang yang netral tidak perlu menampilkan pemikiran ganda (yaitu menerima kedua belah pihak sebagai benar), kesetaraan (yaitu memandang kedua belah pihak sebagai sama), atau kesepakatan (suatu bentuk pengambilan keputusan kelompok; di sini diperlukan negosiasi solusi pada pendapat semua orang, termasuk pendapat sendiri yang tidak boleh tidak memihak). Objektivitas merekomendasikan untuk berpihak pada posisi yang lebih masuk akal (kecuali objektivitas jurnalistik), dengan kewajarannya dinilai melalui beberapa kerangka dasar umum di antara kedua belah pihak, seperti logika (sehingga menghindari masalah ketidakterbandingan). Netralitas juga menyiratkan toleransi terlepas dari seberapa tidak menyenangkan, menyedihkan, atau tidak biasa perspektif itu.[6]

Dalam moderasi dan mediasi, netralitas sering diharapkan agar dapat membuat penilaian atau memfasilitasi dialog terlepas dari bias yang ada, dengan menekankan pada proses dibandingkan hasil.[7] Misalnya, pihak yang netral dipandang sebagai pihak yang tidak memiliki konflik kepentingan (atau kepentingan yang diungkapkan sepenuhnya) dalam suatu konflik,[8] dan diharapkan bertindak seolah-olah tidak memiliki bias. Pihak netral sering dianggap lebih dapat dipercaya dan dapat diandalkan.[9][10]

Bias netralitas itu sendiri adalah ekspektasi yang terdapat dalam pemerintah Swiss (dalam netralitas bersenjata),[11] dan Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (dalam non-intervensi).[12]

Judul Buku : Filsafat Pendidikan Islami Penulis : Prof. Ahmad Tafsir Penerbit : Rosda Karya Cetakan ke : 6, 2014 Halaman : 342 halaman Resensi oleh : Nurhasanah Munir

Filsafat yang dikenal sebagai mother of science telah dijadikan sebuah sumber yang berperan untuk meliputi semua ilmu. Dengan filsafat, maka semua ilmu akan memiliki akar yang bermuara pada satu titik, yakni titik dimana manusia dapat menemukan asal muasal ilmu pengetahuan. Beberapa hal penting yang mengharuskan kita untuk mengetahui dasar sebuah bidang ilmu adalah asal-usul ilmu tersebut yang dapat memberikan dan menjelaskan kepada kita tentang nilai-nilai filosofis yang penuh dengan makna, mengajak kita berpikir lebih logis dan sistematis. Dimana kita tidak dapat menemukan nilai-nilai tersebut dari sumber yang lain. Sebagaimana filsuf Muslim, seperti Ibn Sina, Al-Farabi, Ibn Khaldun ataupun Imam al-Ghazali, meskipun mengambil ide-ide filsafat dari filsuf Yunani, namun tetap berpegang pada Al-Qur’an sebagai Kalam Ilahi, sumber yang primer.

Begitu pun demikian jika kita ingin mempelajari sebuah ilmu pengetahuan, tidak lengkap jika kita tidak mempelajari sumbernya. Misalnya, untuk memahami realitas manusia, kita diberikan banyak pilihan untuk mencarinya, ada yang melalui sudut pandang antropologi, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Jika pun kita ingin memahami sesuatu berlandaskan pada hakikat manusia atau kemanusiaan, maka tentu saja hal tersebut sangat memungkinkan. Saat kita ingin mengetahui tentang pendidikan, untuk apa kita mengetahui hal ihwal pendidikan, untuk siapa pendidikan itu, dan apa manfaat pendidikan bagi kehidupan umat manusia. Hal ini akan menunjukkan korelasi antar ilmu pengetahuan, manusia dan juga sebuah cara pandang atau pendekatan yang digunakan untuk memahami isu ini.

Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan-perntanyaan diatas, Prof. Dr. Ahmad Tafsir seorang Guru Besar Ilmu Pendidikan di Universitas Sunan Gunung Djati, Bandung memilih untuk membahas pendidikan dengan pendekatan filsafat. Buku yang berjudul Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu: Memanusiakan Manusia menjadi sebuah media untuk kita agar dapat memahami pendidikan terutama pendidikan yang bersifat Islami dari sudut pandang yang lebih komprehensif seperti filsafat. Hal ini diperjelas dari sebuah pendahuluan pentingnya membedakan dua hal, yaitu teori Filsafat Pendidikan dan teori Ilmu Pendidikan. Sehingga kedua hal tersebut tidak rancu.

Ahmad Tafsir memulai karirnya dengan mengajar Pengantar Filsafat pada tahun 1973 di IAIN Bandung, ditengah masa ia mengajar itu, Rektor kampus mengirimnya ke IAIN Yogyakarta untuk mengikuti sebuah kursus filsafat dengan metode semacam program S2 selama 9 bulan. Meskipun telah merantau untuk belajar itu, Tafsir waktu itu belum juga menemukan perbedaan Filsafat Pendidikan dan Ilmu Pendidikan. Setelah dua puluh tahun berkecimpung dalam proses mengajar dua cabang ilmu tersebut, maka sampailah ia pada sebuah perenungan yang akhirnya dijadikan sebuah buku daras bernama Filsafat Pendidikan Islami yang telah dicetak sebanyak enam kali sejak terbit pertama kali pada Februari, 2006.

Buku terbagi ke dalam sepuluh bab- memberi sebuah proses perjalanan untuk menemukan berbagai macam teori serta konsep tentang Pendidikan, dimulai dari bab Pendahuluan hingga bab akhir, yaitu Pengembangan Pendidikan. Ahmad Tafsir yang memiliki kecenderungan berpikir lebih detil, runut, dan komprehensif akhirnya menghantarkan kita pada pembahasan ambiguitas tentang Filsafat Pendidikan dan Ilmu Pendidikan.

Namun sebelum memasuki pada bab-bab selanjutnya, Tafsir mengemukakan alasan tentang pemberian judul buku, Filsafat Pendidikan Islami. Dimaksudkan lebih dititik-beratkan pada tuntunan ajaran Islam, disamping itu juga karena panggilan sebagai seorang Muslim.

Menurut saya, Buku daras tentang Filsafat Pendidikan Islami masih sangat jarang ditulis oleh para pakar pendidikan, khususnya di dalam tradisi khazanah Islam di Indonesia. Buku ini menjadi sebuah sumbangsih agar kita semua dapat mengambil manfaat sebanyak-banyaknya.

Formula yang digunakan oleh Tafsir sebagaimana yang dilakukan oleh para pengkaji ilmu agama keislaman terdahulu dan hingga kini, yaitu dengan merujuk kepada Al-Qur’an sebagai sumber ilmu dari seluruh ilmu yang tersebar di seluruh muka bumi. Ia menerangkan tentang perbedaan Filsafat dan Ilmu terlebih dahulu, menurutnya ilmu atau pengetahuan adalah pengetahuan yang rasional yang didukung bukti empiris, sedangkan Filsafat adalah sebuah proses untuk mengetahui hal-hal yang abstrak dan tidak dibuktikan secara empiris. Disamping itu, ia juga mengklasifikasi tentang tiga macam pengetahuan, yaitu pengetahuan sain, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik. Singkatnya pada bab pertama ini, kita sudah diberikan dasar pengetahuan untuk membedakan apa itu Filsafat Pendidikan dan Ilmu Pendidikan. Filsafat Pendidikan adalah teori-teori rasional tentang pendidikan yang tidak perlu dibuktikan secara empriris, sedangkan Ilmu Pendidikan adalah teori-teori rasional yang memerlukan bukti empiris.

Bab kedua, Tafsir membahas tentang Hakikat Manusia dihadapan Tuhan sebagai Pencipta dan posisi manusia. Menurut Al-Qur’an, Tuhan mengabadikan kalam dan pesan-pesan-Nya tentang penciptaan, alam semesta seisinya, dan lain sebagainya. Menurut Socrates, manusia adalah sosok yang menyimpan berbagai macam jawaban dari persoalan yang dipertanyakannya. Baginya, manusia selalu membutuhkan manusia yang lain untuk menemukan ide yang bermanfaat untuk menciptkan kehidupan yang lebih baik.

Masih menurut Socrates, hakikat manusia adalah keinginan untuk mengetahui hal-hal diluar dirinya, maka untuk mengetahui yang diluar dirinya, lebih baik manusia mengetahui dirinya terlebih dahulu. Berbeda dengan Socrates, Plato berpendapat bahwa jiwa manusia adalah entitas non-material yang dapat terpisah dari tubuh. Menurut Plato, hakikat manusia ada dua, yaitu rasio dan kesenangan (nafsu). Plato menambahkan bahwa manusia terdiri dari tiga elemen, yaitu roh, nafsu dan rasio, yang dianalogikan seperti seorang kusir yang sedang mengendalikan pedati dengan dua kuda, satu berwarna putih (roh), satu lagi berwarna hitam (nafsu), Pak Kusir adalah simbol rasio yang bekerja untuk mengontrol keduanya. Tafsir juga mengutip beberapa filsuf lainnya seperti Rene Descartes, Immanuel Kant, dan John Locke. Hakikat Manusia Menurut Tuhan dijelaskan oleh Tafsir dengan merujuk pada rumusan Al-Qur’an, bahwa manusia terdiri dari unsur jasmani, akal, dan ruhani. Pada uraian ini, Tafsir menegaskan bahwa core sebuah pendidikan menurut Islam difokuskan pada pengembangan aspek ruhani. Manusia dibekali Tuhan dengan fitrah yang bermakna potensi, dengan begitu manusia memiliki banyak kesempatan untuk mengembangkan dirinya dari waktu ke waktu, menjadi lebih baik dan sesuai dengan tujuan penciptaan Tuhan untuk makhluk seluruh alam.

Pada bab tiga tentang Hakikat Pendidikan, Tafsir memegang ucapan Yunani kuno bahwa pendidikan adalah pertolongan kepada manusia agar ia menjadi manusia. Mengapa manusia membutuhkan pertolongan? Karena manusia harus berhasil menjadi manusia sejati dengan segala atribut kemanusiaannya. Orang-orang Yunani memiliki tiga syarat agar seorang manusia layak disebut sebagai manusia, pertama, memiliki kemampuan mengendalikan diri; kedua, cinta tanah air; dan ketiga, berpengetahuan.

Manusia yang menjadi tujuan dari pendidikan harus memiliki pengetahuan yang tinggi, ia juga harus mampu berpikir benar. Oleh karena itu, orang Yunani berkeyakinan bahwa berpikir dengan cara filsafat atau berfilsafat adalah latihan terbaik untuk mampu berpikir benar. Lebih lanjut, Tafsir mengatakan bahwa pendidikan adalah masalah yang tidak pernah selesai, mengapa demikian? – penyebabnya, keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik, dan pendidikan memiliki berbagai macam elemen yang saling berkaitan untuk menciptakan hal-hal baik dari masa ke masa. Oleh karena itu pendidikan bersifat dinamis, dimana prosesnya melibatkan banyak hal, seperti waktu, tempat dan manusia.

Setelah membahas tentang Hakikat Manusia dan Hakikat Pendidikan, pembaca akan mendapatkan paparan tentang Dasar Pendidikan di bab empat. Ahmad Tafsir merumuskan nilai-nilai yang layak dijadikan dasar untuk memperkuat pondasi pendidikan. Nilai merupakan satu hal yang sangat penting dan utama dalam bidang pendidikan, karena dengan nilai, pendidikan memiliki pijakan dan pedoman untuk menciptakan pendidikan yang kokoh, kuat, inovatif, dan integratif. Menurut Tafsir, salah satu nilai yang menjadi dasar pendidikan di Indonesia adalah Pancasila dan pengembangannya menjadi nilai-nilai yang dimanifestasikan menjadi ajaran aktual di semua aspek, salah satunya adalah pendidikan.

Pancasila telah tebukti sejalan dengan misi pendidikan yang ada di pelosok negeri Indonesia. Pendidikan adalah salah satu media untuk memperkuat dan mempersatukan seluruh rakyat dibawah naungan Pancasila. Dengan demikian, Pancasila juga dikatakan sebagai Filsafat (falsafah) Negara yang meliputi semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Lalu apa Tujuan Pendidikan itu? – kita akan menelaahnya pada bab kelima, setiap perjalanan memiliki tujuan, termasuk dalam pelaksanaan pendidikan yang menjadi bentuk tanggung jawab untuk melahirkan generasi-generasi kuat dalam imtaq dan iptek. Namun apakah tujuan pendidikan juga dapat berubah sesuai zaman atau tetap bertahan dari yang sejak dulu?. Sebuah tujuan tidak dapat dirumuskan hanya sesuai kehendak hati penguasa, pemilik modal, kebiijakan, dan seterusnya. Tujuan pendidikan sama halnya dengan cita-cita yang dibangun untuk dicapai secara bersama-sama. Tujuan pendidikan bukan hanya tentang program, kurikulum, dan lulusan ideal. Tujuan pendidikan haruslah menjadi sebuah hal yang amat sangat agung karena berkenaan dengan ciri kekhasan pendidikan tersebut. Misalnya saja, tujuan pendidikan di negeri Eropa tentu saja berbeda dengan yang ada di Amerika, Afrika, Australia dan Asia. Begitupula tujuan pendidikan di dunia Islam dan non-Islam.

Beberapa hal yang masih kurang menurut penulis, Tafsir hanya memaparkan tiga kriteria menjadi seorang lulusan yang diharapkan dari sebuah proses pendidikan, yaitu badan sehat, kuat, otak cerdas, dan beriman kuat. Pada paparan ini, Tafsir tidak menjelaskan lebih rinci berdasarkan argumentasi rasional, sehingga penjabaran yang dituliskan tentang seperti apa tujuan pendidikan dari perspektif Filsafat Islam masih belum diketahui, padahal judul buku ini adalah Filsafat Pendidikan Islami.

Hal yang lain, setelah Tujuan Pendidikan, Tafsir menempatkan Kurikulum Pendidikan sebagai bahasan pada bab keenam. Pada awal tulisan, Tafsir menawarkan gagasan brilian tentang kurikulum, namun disaat yan sama ia katakan bahwa gagasannya akan sulit dipahami.

Pertama-tama, ia mendefinisikan kurikulum yang berarti sebuah program untuk mencapai tujuan pendidikan. Selanjutnya, Tafsir membangun relasi antara kurikulum, tujuan pendidikan, dan manusia yang baik. Maksudnya adalah manusia yang baik adalah produk dari kurikulum yang dikembangkan, sehingga tujuan pendidikan itu untuk melahirkan manusia-manusia dengan budI pekerti yang luhur.

Manusia yang baik berkaitan erat dengan akhlak, dan masih menurut Tafsir bahwa akhlak merupakan core dari kurikulum. Ia juga menambahkan dengan berpijak pada Undang-Undang tentang pendidikan yang menyatakan bahwa “Pendidikan nasional….. bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang berdemokratis serta bertanggung jawab” (pasal 3 UU No. 20/2003).

Bab selanjutnya adalah bab mengenai Peserta Didik (bab ketujuh). Tafsir lebih memilih menggunakan kata murid dalam tulisan ini dengan mengikuti tradisi tasawuf, dimana istilah murid disandingkan dengan kata mursyid yang bermakna guru. Tafsir rupanya telah sepakat untuk menggunakan rumusan adab murid kepada guru yang telah disusun oleh Sa’id Hawwa (1999). Kemudian, Tafsir juga menegaskan bahwa istilah yang paling tepat untuk pelajar ialah murid, bukan anak didik atau peserta didik. Hal ini ia jelaskan bahwa istilah murid merupakan pengaruh dari ajaran agama Islam, sehingga dapat diasumsikan bahwa anak didik atau peserta didik tidak memiliki makna Islami dibandingkan dengan murid. Setelah berkutat dalam istilah anak didik, murid, dan peserta didik, Tafsir berlanjut pada pembahasan tentang pendidik, yang ia maksudkan dengan pendidik adalah semua yang mempengaruhi perkembangan seseorang, yaitu manusia, alam, dan kebudayaan.

Pada bab kedelapan, Tafsir membahas tentang Lembaga Pendidikan yang kemudian ia bagi penjelasan tersebut melalui sub-sub bab, diantaranya: Model Pendidikan, ia menerangkan tentang inti manusia yang berpengaruh dalam menghasilkan model-model pendidikan, inti manusia yang dimaksud yaitu iman. Iman dapat berelaborasi dengan amal saleh, pengetahuan, vokasi (keterampilan), metode belajar, bahasa, dan seterusnya. Hal tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman dalam menciptakan generasi-generasi yang dapat menguasai iman, takwa, ilmu pengetahuan, serta teknologi. Dalam sub bab Model Sekolah untuk Menghadapi Abad 21, dan berdasarkan pemikirannya yang diklaim berperspektif Islam, Tafsir mengatakan bahwa pendidikan (Islam) di masa depan harus memiliki kurikulum utama, seperti: Pendidikan Agama, Pendidikan Bahasa Inggris Aktif, Pendidikan Keilmuan, serta Pendidikan Keterampilan Kerja.

Selesai membahas tentang Lembaga Pendidikan, Tafsir menerangkan tentang Proses Pendidikan di bab kesembilan. Meskipun pada pendahuluan, Tafsir sudah mengatakan bahwa ulasan-ulasan yang ia tulis banyak tidak sesuai dengan kaidah-kaidah filsafat, namun setidaknya ia bisa memberikan referensi-referensi dari filsuf-filsuf Muslim yang karya-karyanya berkaitan dengan dunia pendidikan. Dalam bab Proses Pendidikan, ia memperkenalkan Metode Internalisasi, yaitu metode yang dipakai untuk dapat mencapai tujuan pendidikan. Peserta didik mendapat arahan dan diajarkan oleh guru agar dapat mengetahui. Pengetahuan yang telah diperoleh sang peserta didik diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, kemudian pada akhirnya si peserta didik dengan pengetahuannya tersebut mewujud menjadi satu kesatuan, peserta didik dan ilmunya tak terpisahkan karena ia selalu mengamalkannya.

Adapun bab yang terakhir adalah Pengembangan Pendidikan. Sebagaimana yang ditulis Tafsir bahwa pengembangan pendidikan di dunia Islam tidak sepesat pengembangan pendidikan di dunia Barat. Hal ini disebabkan karena kajian-kajian mengenai pendidikan selalu mengambil konsep dari pendidikan yang dilaksanakan di dunia Barat, maka tidak heran jika pengembangan pendidikan di dunia Islam menjadi sangat lambat. Pada bab kesepuluh ini, Tafsir mengutip perkataan Azyumardi Azra yang menyatakan kekecewaannya yang mendalam tentang kurangnya perhatian terhadap kajian Ilmu Pendidikan Islami.

Istilah Pendidikan Islami adalah yang paling benar dan tepat jika dibandingkan dengan Pendidikan Islam. Tafsir merujuk pada istilah yang sudah paten digunakan dalam bahasa Inggris dan juga bahasa Arab, seperti Islamic Education dan al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, kedua bahasa ini jika disadur kedalam bahasa Indonesia akan menjadi Pendidikan Islami bukan Pendidikan Islam, karena tentu saja keduanya memiliki pengertian yang berbeda pula. Setidaknya kedua istilah ini dapat dikaji lebih mendalam agar tidak ada lagi miskonsepsi dikalangan pengkaji, akademisi, dan mahasiswa yang berkecimpung di bidang pendidikan. Sangat disayangkan pula jika buku ini tidak dilengkapi dengan catatan-catatan kaki, sehingga pembaca akan dirundung rasa ingin tahu yang besar untuk menelusuri tulisan-tulisan atau pernyataan yang bisa dijadikan sebagai referensi valid. Oleh karena itu, pembaca bisa mencarinya melalui daftar pustaka yang tersaji di akhir buku. []

Pragmatisme adalah aliran filsafat yang berasal dari Amerika Serikat pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Aliran ini menekankan pentingnya pengalaman empiris dan praktik dalam pembentukan pengetahuan, dan memandang konsep dan ide-ide terutama dari sudut pandang fungsional dan praktis mereka. Berikut adalah beberapa pokok-pokok pemikiran dari pragmatisme:

Pragmatisme telah mempengaruhi banyak bidang, termasuk pendidikan, ilmu sosial, dan hukum. Meskipun memiliki banyak variasi dan interpretasi, inti dari pragmatisme adalah fokus pada pengalaman praktis dan adaptasi sebagai kunci untuk memahami dan memandu tindakan manusia.

Organisasi mahasiswa (Ormawa) adalah entitas yang terdiri dari mahasiswa yang bersatu untuk mencapai tujuan bersama, memperjuangkan kepentingan mahasiswa dan mengembangkan potensi anggotanya. Entitas dalam konteks organisasi mahasiswa merujuk pada bidang yang memiliki keberadaan atau peran tertentu dalam struktur organisasi. Contohnya bisa berupa departemen dan kelompok studi yang memiliki fungsi khusus dalam mencapai tujuan ormawa tersebut. Misalnya, Departemen Keorganisasian serta Kelompok Studi Kajian yang merupakan entitas-entitas dalam lingkungan organisasi mahasiswa, yang masing-masing memiliki peran dan tanggung jawabnya sendiri. Idealnya, organisasi mahasiswa menjadi wadah yang mendorong pengembangan kepemimpinan serta bergerak mempromosikan nilai-nilai etika, integritas, dan tanggung jawab sosial kepada seluruh mahasiswa. Pentingnya pengembangan nilai-nilai etika, integritas, dan tanggung jawab dalam organisasi mahasiswa ialah dapat mendorong hubungan yang positif antar anggota serta menumbuhkan karakter yang kuat dalam memimpin sehingga mampu menciptakan profil lulusan yang memiliki kontribusi kreatif dan inovatif yang signifikan.

Namun, pada kenyataannya tidak jarang beberapa organisasi mahasiswa terlibat dalam praktik-praktik yang tidak etis, diantaranya adalah memasukkan nama titipan, pemalsuan data keuangan, atau memanfaatkan kebijakan yang tidak adil untuk mencapai hasil yang diinginkan dengan cara yang paling praktis, serta menjalankan kepemimpinan nepotisme dengan cara memberikan keuntungan atau posisi kepada calon anggota baru atau kepada anggota organisasi yang memiliki hubungan dekat tanpa mempertimbangkan kualitas dan kompetensi. Pada pembahasan ini, penulis tertarik membahas sifat pragmatisme dalam organisasi mahasiswa untuk menyoroti fenomena aktual di mana pendekatan praktis dalam pengambilan keputusan memiliki dampak yang signifikan terhadap dinamika dan aktivitas organisasi mahasiswa pada saat ini.

Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang lahir di Amerika pada era 1870, merupakan sifat atau ciri seseorang yang cenderung berpikir praktis dan sempit tanpa memperhatikan pertimbangan etika atau nilai-nilai moral. Seseorang yang mempunyai sifat pragmatis selalu menginginkan hasil yang cepat tanpa melibatkan proses yang lama, meski dalam praktiknya hal ini dapat membuat hasil tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dalam konteks ini, sifat pragmatis dapat menjadi faktor pendorong terhadap praktik tidak etis dalam organisasi mahasiswa ketika tujuan praktis diutamakan di atas nilai-nilai etika dan integritas.

Pada dasarnya, sifat pragmatis tidak dapat dipisahkan dari diri seseorang dan sifat pragmatis juga tidak selalu berkaitan dengan hal-hal negatif, bahkan dapat dijadikan acuan untuk bertindak atau bekerja lebih singkat dan menghemat waktu. Seseorang yang dapat menggunakan sifat pragmatis dengan bijak akan menghasilkan hasil yang lebih baik. Namun, pada saat ini banyak kalangan yang menyalahgunakan sifat pragmatis untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu tanpa berpikir panjang, yang bahkan dapat merugikan orang lain. Salah satu diantaranya adalah praktik-praktik pragmatisme yang berkembang begitu pesatnya di lingkungan organisasi mahasiswa. Contohnya adalah praktik ‘titip’ nama atau menerima nama ‘titipan’ sebelum berlangsungnya pembukaan pendaftaran (Open recruitment). Praktik menerima nama ‘titipan’ yang dilakukan oleh suatu organisasi pasti akan menimbulkan kecurangan dan kerugian dari berbagai pihak, yaitu:

Pembahasan dan penelitian mengenai pragmatisme di lingkungan mahasiswa sudah sangat tidak asing, berbagai pihak sudah mengantisipasi perkembangan sifat pragmatis dalam berbagai tulisannya yang mengacu pada fakta yang terjadi saat ini. Organisasi mahasiswa yang seharusnya digunakan sebagai wadah mahasiswa untuk mengembangkan diri dan mencetak calon-calon pemimpin masa depan harus berhadapan dengan praktik-praktik tidak etis di dalamnya.

Yulianto & Hapsari (dalam Grace Phillandros Violetta & Ika Kristianti, 2023) menyatakan: bahwa terdapat kecurangan berupa penyalahgunaan laporan keuangan yang dilakukan kepanitiaan di Fakultas X pada Universitas ABC. Kecurangan sering terjadi karena sudah menjadi ‘budaya ikut-ikutan’ dan ‘budaya semua bisa diatur’. Kecurangan tersebut sudah terjadi dari mulai tahap perencanaan sampai tahap akhir yaitu pertanggungjawaban. Kasus kecurangan yang dilakukan oleh Lembaga Kemahasiswaan juga terjadi di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas “X” yaitu memanipulasi laporan dan penyalahgunaan aset yang sudah sering terjadi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh tokoh-tokoh di atas menyatakan bahwa sifat pragmatisme sudah sangat berkembang dan berseberangan dengan nilai-nilai etika, kejujuran, serta tanggung jawab dalam diri mahasiswa, tidak hanya berkembang tetapi sifat praktis tersebut sudah menjadi budaya yang diikuti semua kalangan, serta sudah menjadi rahasia umum dan semua orang memahami keadaan yang sebenarnya terjadi.

Pesatnya perkembangan sifat pragmatis dalam lingkungan organisasi mahasiswa tidak terlepas dari alasan mendasar terhadap tujuan praktis dan tuntutan lingkungan. Formalitas dalam menjalankan sebuah program organisasi dan menyelesaikan semua tugas serta mencapai target dapat dilihat sebagai strategi untuk menunjukkan efisiensi dan kesuksesan organisasi, bahkan jika harus menggunakan praktik-praktik tidak etis di dalamnya. Dalam konteks ini, menekankan bahwa program berjalan dapat diartikan sebagai upaya untuk memastikan bahwa kegiatan organisasi dapat terus dilaksanakan tanpa hambatan yang berarti. Tuntutan lingkungan yang membenarkan praktik-praktik tidak etis tersebut mendorong perkembangan sifat pragmatis dalam diri mahasiswa.

Tarik menarik antara idealisme dan pragmatisme dalam lingkungan mahasiswa yang sudah terjadi sejak lama menjadikan hal ini menjadi sebuah tantangan yang harus diatasi. Kita semua dihadapkan pada tanggung jawab bersama untuk menghadapi arus besar pragmatis yang sedang merambah dunia pendidikan, terutama bagi kita yang berada di dalam lingkup organisasi mahasiswa. Pentingnya menjaga integritas dan idealisme akademik muncul sebagai tugas utama, ketika merujuk pada organisasi mahasiswa sebagai wadah bagi mahasiswa untuk mempromosikan nilai-nilai etika. Dengan ini, penulis mengajak semua kalangan akademisi untuk meningkatkan nilai-nilai kejujuran di dalam diri masing-masing sebagai suatu keharusan. Karena kepraktisan ini kemudian dapat menghambat pemikiran mahasiswa sehingga tidak lagi berpikir secara kritis ketika menghadapi sebuah masalah, dunia pendidikan dengan tegas tidak membenarkan hal tersebut, tetapi hal tersebut sudah mengakar dalam diri mahasiswa.

Berkembangnya sifat pragmatisme dalam lingkungan organisasi mahasiswa menunjukkan bahwa organisasi tersebut tidak mampu lagi menjaga idealisme oleh karena tuntutan mahasiswa yang terlalu pragmatis. Pragmatisme selalu fokus pada keuntungan segera dan sering mengabaikan aspek kualitas dan dampak jangka panjang, kebijakan atau keputusan ini dapat merugikan masa depan suatu organisasi karena kurangnya perencanaan yang matang. Kita selalu cenderung dengan hasil yang cepat, tetapi lupa mengukur konsekuensi jangka panjang dari pilihan tersebut, penting untuk mencari keseimbangan antara keuntungan saat ini dan investasi untuk masa depan yang berkelanjutan.

Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa kebenaran dari segala sesuatu berdasarkan kepada manfaat yang diberikannya.[1] Sesuatu hal ini dinilai dari kebergunaannya bagi tindakan manusia untuk kehidupannya. Pernyataannya dapat berbentuk ucapan, dalil atau teori. Pragmatisme muncul sebagai tradisi pemikiran yang berasal dari dunia Barat dan berkembang khususnya di benua Amerika. Kehadirannya sebagai suatu pemikiran yang berusaha menjawab persoalan kehidupan manusia.[2] Pragmatisme digolongkan sebagai salah satu aliran filsafat abad ke-19 dalam sejarah filsafat Barat.[3] Pelopor pemikiran pragmatisme adalah seorang filsuf Amerika, Chales Sanders Peirce (1839–1914).[4] Tokoh yang berpengaruh dalam pemikiran pragmatisme antara lain William James (1842–1910) dan John Dewey (1859–1952).[5]

Gagasan mengenai pragmatisme dikemukakan pertama kali oleh Charles Sanders Peirce pada awal periode 1870-an pada pertemuan sebuah kelompok filsafat bernama Metaphysical Club. Pertemuan tersebut diadakan di Cambridge, Massachusetts secara tidak formal. Hasil diskusi dari pertemuan tersebut dituliskan oleh Peirce menjadi dua buah artikel berjudul The Fixation of Belief (1877) dan How to Make Our Ideas Clear (1878). Kedua artikel ini dipublikasikan pada majalah bernama Popular Science Monthly.[6]

Isitilah "pragmatisme" berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata pragma. Kata ini memiliki banyak arti antara lain fakta, benda, materi, sesuatu yang dibuat, kegiatan, tindakan, akibat atau pekerjaan. Dari kumpulan arti tersebut, pragmatisme diberi pengertian sebagai pemikiran yang menguatamakan fungsi gagasan di dalam tindakan. Di sisi lain, istilah "pragmatisme" diperoleh oleh Charles Sanders Peirce dari pemikiran filsafat Immanuel Kant. Di dalam pemikiran Kant terdapat dua kata yang mirip dengan arti yang berbeda, yaitu praktisch dan pragmatisch. Kedua kata ini berasal dari bahasa Yunani yaitu praktikos dan pragmatikos. Istilah praktisch diartikan sebagai tindakan yang dilakukan untuk kepentingan dirinya sendiri. Jenis tindakan ini tidak ditemukan dalam pengalaman secara nyata, melainkan hanya ada pada akal dan budi. Sedangkan isitlah pragmatisch diartikan sebagai gerak yang dihasilkan oleh kehendak manusia guna memberikan suatu tujuan definitif sebagai tahapan penting untuk menjelaskan pemikiran secara benar.[7]

Pragmatisme menjadi logika terhadap pengamatan sebagai dasar pemikirannya. Pandangan ini menyatakan bahwa kenyataan dari dunia yang terlihat oleh manusia merupakan fakta-fakta yang bersifat nyata, terpisah satu sama lain dan individual. Dunia ditampilkan apa adanya, sehingga perbedaan dapat diterima begitu saja. Perwujudan dari kenyataan selalu bersifat pribadi dan bukan merupakan fakta umum karena hanya muncul dari pikiran manusia. Fungsi pelayanan dan kegunaan menjadi alat pembenaran suatu gagasan. Pragmatisme tidak membahas kajian filsafat mengenai kebenaran, khususnya yang berkaitan dengan metafisika.[8]

Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang menilai kebenaran dari suatu teori atau kepercayaan berdasarkan tingkat keberhasilan atau manfaatnya dalam penerapan praktis.[9] Persoalan utama bagi pragmatisme ialah mengenai daya guna dari pengetahuan, bukan hakikat dari pengetahuan. Pandangan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa pengetahuan merupakan sarana bagi perbuatan.[10] Pragmatisme menyelesaikan permasalahan teoretis maupun praktis dalam kehidupan manusia dengan mengandalkan penggunaan akal budi.[11]

John Dewey adalah salah satu tokoh yang berpengaruh besar dalam pemikiran pragmatisme.[12] Pemikiran pragmatisme yang dikembangkan oleh Dewey dikenal juga sebagai eksperientalisme. Penamaan ini berasal dari pemikirannya yang menyatakan bahwa pertumbuhan manusia merupakan tujuan dari pendidikan. Ia menyebutnya sebagai pertumbuhan karena menganggap segala sesuatu di dunia ini memiliki sifat selalu berubah.[13] Pemikiran pragmatisme John Dewey menjadi salah satu pemikiran yang mempengaruhi dimulainya pendidikan massal.[14]

William James (1842–1910) merupakan salah satu tokoh yang mengkaji mengenai cara manusia dalam mengatasi permasalahan kehidupan berupa industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi. Tokoh lain yang mengkaji permasalahan yang sama ialah Karl Marx (1818–1883) yang kemudian menjadi pelopor sosialisme. James merupakan penganut relativisme yang menghasilkan pemikiran pragmatisme di kontinen Amerika. Pragmatisme ini diartikan sebagai sebuah kepraktisan dan kegunaan sehingga kriteria dari kebenaran diberikan untuk segala hal yang dapat menjadikan segala sesuatu dapat dikerjakan. James meyakini bahwa manusialah yang menciptakan kebenaran sehingga kebenaran itu berada di dalam diri manusia. Kriteria kebenaran pragmatisme ini memberikan pengaruh bagi dunia bisnis dan politik di Amerika. Pemikiran pragmatisme membuat sosialisme tidak berkembang di Amerika.[15]

Max Scheler mengkritik pragmatisme di dalam karyanya yang berjudul Erkenntnis und Arbeit. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1926. Dalam pandangan Scheler, pragmatisme mencapai kegagalan dalam memikirkan hubungan yang mendalam antara individu manusia dengan individu lainnya. Ini ditandai dengan tidak adanya kajian mengenai transendensi cinta. Ia berpendapat bahwa pragmatisme hanya merupakan metode berpikir yang sepenuhnya berfokus pada keinginan untuk mendominasi alam.[16]

Pragmatisme merupakan pemikiran yang penting bagi pendidikan kejuruan. Dalam pragmatisme, sesuatu dianggap penting berdasarkan tingkat kegunaannya. Pertanyaan utama di dalam pragmatisme adalah mengenai "untuk apa" dan bukan mengenai "apa". Pragmatisme memperhatikan konsekuensi praktis dari suatu tindakan. Dalam pendidikan kejuruan, pragmatisme membagi antara teori dan praktik. Di dalam pengembangan teori, pragmatisme memberikan landasan terhadap etika normatif. Sementara di dalam pengembangan praktis, pragmatisme memenuhi kebutuhan manusia melalui pendidikan kejuruan yang menghasilkan tenaga kerja profesional. Adanya keseimbangan antara teori dan praktis membuat pragmatisme mencegah pendidikan dari tujuan praktis yang hanya bersifat materialisme. Pragmatisme juga mencegah pendidikan dari kehilangan fungsinya sebagai alat pemenuhan kebutuhan masyarakat.[17]

Pragmatisme merupakan aliran filsafat pendidikan yang mendasari pengembangan aliran filsafat pendidikan lainnya, yaitu progresivisme. Pragmatisme yang dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914), William James (1842-1910), dan John Dewey (1859-1952) digunakan dalam pendidikan progresif yang mengutamakan adanya proses, pengalaman dan kegunaan pendidikan secara praktis dalam kehidupan manusia. Progresivisme diterima oleh para praktisi pendidikan yang mengutamakan proses pendidikan melalui tindakan yang bersifat praktis dan mengandalkan percobaan. Pemikiran pragmatisme dan progresivisme yang berkaitan dengan filsafat pendidikan utamanya merupakan pengaruh dari pemikiran John Dewey.[18]

Pragmatisme telah mengubah tujuan politik dari bersifat ideologis menjadi bersifat praktis. Pengaruh pragmatisme di dalam politik terbagi menjadi dua, yaitu pada kaum elite dan masyarakat. Pragmatisme di tingkat masyarakat digunakan sebagai bentuk pemanfaatan situasi atau momen politik untuk perbaikan kondisi kehidupan masyarakat. Gagasan mengenai perbaikan ini disajikan secara instan walaupun dalam artian sebenarnya merupakan sesuatu yang kompleks.[19] Sementara itu, elite partai di dalam partai politik memanfaatkan pragmatisme digunakan untuk mengurangi identitas ideologi partai politik guna mempertahankan oligarki kekuasaannya. Beberapa caranya melalui pengurangan perekrutan anggota dan aksi teror terhadap masyarakat. Salah satu pemanfaatan pragmatisme ini ialah pada pemilihan kepala daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon yang tunggal.[20] Pengaruh pragmatisme di dalam politik menimbulkan ketidakselarasan antara ideologi politik dengan kebijakan politik dari suatu partai politik.[21]

Pragmatisme merupakan salah satu aliran pemikiran yang mempengaruhi perkembangan pemikiran filsafat Barat di Tiongkok pada periode tahun 1900-an. Adanya pengaruh ini terjadi seiring dengan diadakannya penerjemahan karya-karya pemikiran filsafat Barat ke dalam bahasa Mandarin. Pemikiran-pemikiran filsafat Barat membuat aliran pemikiran di Tiongkok mulai cenderung kembali ke tradisi pemikiran pribumi.[22]

%PDF-1.6 %âãÏÓ 712 0 obj <> endobj xref 712 131 0000000016 00000 n 0000005040 00000 n 0000005177 00000 n 0000005283 00000 n 0000006516 00000 n 0000006565 00000 n 0000006615 00000 n 0000006665 00000 n 0000006715 00000 n 0000006764 00000 n 0000006815 00000 n 0000006866 00000 n 0000006917 00000 n 0000006968 00000 n 0000007019 00000 n 0000007070 00000 n 0000007119 00000 n 0000007233 00000 n 0000007783 00000 n 0000008141 00000 n 0000008683 00000 n 0000009090 00000 n 0000009367 00000 n 0000009608 00000 n 0000009881 00000 n 0000010105 00000 n 0000010801 00000 n 0000011051 00000 n 0000011339 00000 n 0000011712 00000 n 0000011982 00000 n 0000012641 00000 n 0000013257 00000 n 0000013761 00000 n 0000013875 00000 n 0000014403 00000 n 0000014946 00000 n 0000016733 00000 n 0000028900 00000 n 0000029985 00000 n 0000044236 00000 n 0000056188 00000 n 0000057257 00000 n 0000057308 00000 n 0000059973 00000 n 0000069277 00000 n 0000076062 00000 n 0000085781 00000 n 0000095365 00000 n 0000098410 00000 n 0000103950 00000 n 0000109141 00000 n 0000117332 00000 n 0000120246 00000 n 0000120321 00000 n 0000120370 00000 n 0000120993 00000 n 0000121051 00000 n 0000121100 00000 n 0000121613 00000 n 0000127276 00000 n 0000128552 00000 n 0000129840 00000 n 0000135527 00000 n 0000140489 00000 n 0000140684 00000 n 0000140878 00000 n 0000141073 00000 n 0000157166 00000 n 0000183165 00000 n 0000204306 00000 n 0000204513 00000 n 0000204563 00000 n 0000210373 00000 n 0000210612 00000 n 0000210662 00000 n 0000215579 00000 n 0000215789 00000 n 0000215839 00000 n 0000219474 00000 n 0000219716 00000 n 0000219766 00000 n 0000224250 00000 n 0000224468 00000 n 0000224518 00000 n 0000228030 00000 n 0000228269 00000 n 0000228319 00000 n 0000232195 00000 n 0000232380 00000 n 0000232430 00000 n 0000241126 00000 n 0000241310 00000 n 0000241360 00000 n 0000241580 00000 n 0000241802 00000 n 0000241852 00000 n 0000242102 00000 n 0000242300 00000 n 0000242350 00000 n 0000242574 00000 n 0000258463 00000 n 0000284225 00000 n 0000294658 00000 n 0000301143 00000 n 0000306120 00000 n 0000308516 00000 n 0000312128 00000 n 0000318453 00000 n 0000338650 00000 n 0000352560 00000 n 0000352614 00000 n 0000352729 00000 n 0000352840 00000 n 0000353000 00000 n 0000353058 00000 n 0000353736 00000 n 0000354532 00000 n 0000355558 00000 n 0000356637 00000 n 0000357671 00000 n 0000357729 00000 n 0000390958 00000 n 0000391214 00000 n 0000429738 00000 n 0000429987 00000 n 0000431125 00000 n 0000431388 00000 n 0000432332 00000 n 0000432604 00000 n 0000002979 00000 n trailer <<4FBFD12A5935C641A5E78239EF7955C1>]>> startxref 0 %%EOF 842 0 obj <>stream ø²»ûGÖýK�Wž‚51¨ÌˆVˆõmK¤©6µ<êaC¼Ön¤­ÆÛDN‘ðˆÀ7I8-×Z�•€Û½,”Bˆb3n]œ=l}Õ`çõþs»x»äˆW$ИÅ$`ì^5MÏìÝ:MÅõ!µdÚë3SÌ|éjŸlh:Í‚ù*ʵ‹J'„éÆ<±ùñâ$*à5õYì/)£ñdx>—ïq@ã\-ÂqÝ9äÔ…¥…·3é”<ù}�£qªzØ�°�س)x�>W89§Â+T)O}ëv2Žù/3<ËxD³îì’óÔV-ÈkʆBã¸?\lv¨~;”:§�a-æ�hˆŒëË<þüHõGh­vEQPôË}âÅoqFÝï  U32JÈ��W}‰� n$Ú�¨(ɱ~‘�…™ÕnNçÎhÎ÷9p)2É3ù‹ïÿµO"=k´äec[wy¢¢Æ�¢®Ëoëžg¼AßÙ5ïÒÆÊ17êâ؇uP\Ü€ a¡³üÐ�è®R8ìS*+’ËàC5„oèbe.ƒÎglªø•�)Æß4A%‡¢,IA�#ñö†©]"¹Žõj¬­Õf5ig’!àˆ½æše¹nµß=ĨößK>Uë3|ÊîÚf¾ëÅgÙÌ(çJ’MïʉåÞ ¨�ß÷9Gº¯Ènè”äÏÜLPÓPWÏĶ.ø-EÆŽ”÷½µ°bŽNVXs|Š`¶•ÁÍ«&ù•}õÍá…¤H ìh€­¨€¯å°ÇœÌvvgHÈÄMÉÎ~ÖÀù‡êhÁÏÉYQd.ªzùâùó o%’áX�ÖSd¦!4ë7œ§©[‘Ï7No?ˆkü™š„o2âç Jº™PIÄÝó�¼žl5›ÁšõœlPK10>Rÿ ÷ˆ—SmxV>¿µ\&Ê7m¨TÚ#†•³¥]Ûl2�ÎlñµF/®³ø]œ~õ:6úËø‚¼Ìœd£3æY,ÖnsªSJÇ’u™Ôò½�µOÙOHàÂb3_FÌæŒÎûPHp’å7Ã!áÈu~Ê5™ùô­â÷¯Ú⊡ÛQöÎ`fÙ@ÅÚÖ(‡[³|Wü#Vô¹¹8A‰§–Zš/ÄW×µQ;SËû ÉdÓœ*Ôq+ac˜³D6K•² <¦Äˆe7wHù}_Àî৛XÙ4>}$N×¹¹Ø3ðÛ—Šdœý­Ì”ƒÕ´µ·'ɃóÕ0µ¨m”¬ÔÒxÒoÿˆPwCÉäLj~˜[C!6J€;¶Ô6 “¤‡‰tkn¬¤–é�¿a™b0åÔ-R*®ã7zŸÄx¾P˜jpmÛˆºƒr´{–a¨ÈX�Ø>tÙØŽHpZ�ÙU…{Öýà³Eý6`­<åíq³+Mc®TÀéb| ¢ì,ß'ˆG¢zÉù×80» Áâ™—„4‚F܇§¹þš,®ò­�Ômñ€6Ži bÿÔÒT½ˆŒÝú–¸cÃÀ<Ã{>à Æü”O$ î“ë>MQ+ágn¬ÐÝÕÍ�¬§½†EkæV¬²Ìr£ýº? Gÿ“ì†NÇõijT ðä] ü Ý0y ࿯7‡L–³Ïò;tGˆMD­)êyz©›7$ì“Sc)1¦R˜ ­·>æL.NDÚ©G„–Cx 0©î+÷Æ€�¯¡r±lè„uó~p+…uvúƒ‚ÛzGœ­¤·P�†«†‘5H%_Ž¥Ÿêýry�蜸,*Ÿ¿úôBC�wêI“ZÞár�ät›RÂ×:::àJ#FQ¬+ö³‹ÿ|C£§e ] ú£6óNÄ„K–„§i]iåÖ:™nˆí¾ð0qxNS´?{U¬½øsDÚjíù®š|¶?÷Ýì(x#�W×ÊàÄõX>ÆX ßQµ®7â^8Þì^€;_®¥š=ƒ!šefBÅTÇl‚¯ˆ‹¹++!„¨„®tÎ ~ñ Ù7åäÊó"r�'C¼�{v´�ÞF<â|ý¢¹I[M?¨“_g�õÁŽå6wè … $YzÖþùC#¿ç›ªóºÔµ2xJãªFX,ŒKÒÇý#By<'“¬:IØ ÊÆ+1²–^ñqáðþ"ëaiÖ0ÞRÀp´´�ß2“WÀÒ“º#Ô*Ö*ÿÏNæy¥å�I(PäÑ^hó;âÄ[N6^rºÓã¼6 9�Qv.dñݲ_�øË·-¥�&•L¥yHÒ8Ü]S¸üþÔzf‘ bÖÞ¾|l� YC,àoà­âžÜÅI™·—=n_šå®öª×cì+Á™A °Üõ@×+X_É$ à½EÐ>Å]pï iŠ³;«X@ìèu…à @áþû´�t×tL‘{L’Ô $€28ECÐ0Geu,“DÊJÛ>¹úa_L½*”Qrœ£o/h þWy§±¡ƒ[ÁsX³IU–'#'ñÐ{‡·ô²WÓp$ûlßã¶vüïO‘ù·UÑÄÖ£ ¶DœuÃ/¢+ É'§ endstream endobj 713 0 obj <äjËÒJÿw'¾$M‡5�]ɳœÓ¢a£ðgHGøŠô÷)/P -3392/R 3/U(‹Æss«}n÷YÅÛ±´?5o m a k e a )/V 2>> endobj 714 0 obj <> endobj 715 0 obj <>/ColorSpace<>/Font<>/ProcSet[/PDF/Text/ImageC/ImageI]/ExtGState<>>>/Type/Page>> endobj 716 0 obj [/Indexed/DeviceCMYK 0 822 0 R] endobj 717 0 obj [/Indexed/DeviceCMYK 15 823 0 R] endobj 718 0 obj [/Indexed/DeviceCMYK 14 824 0 R] endobj 719 0 obj [/Indexed/DeviceCMYK 26 825 0 R] endobj 720 0 obj [/Indexed/DeviceCMYK 1 826 0 R] endobj 721 0 obj [/Indexed/DeviceCMYK 164 827 0 R] endobj 722 0 obj [/Indexed/DeviceCMYK 185 828 0 R] endobj 723 0 obj [/Indexed/DeviceCMYK 255 750 0 R] endobj 724 0 obj [/Indexed/DeviceCMYK 238 829 0 R] endobj 725 0 obj [/Indexed/DeviceCMYK 254 830 0 R] endobj 726 0 obj [/Indexed/DeviceCMYK 240 831 0 R] endobj 727 0 obj [/Indexed/DeviceCMYK 1 832 0 R] endobj 728 0 obj <> endobj 729 0 obj <>stream ¥vÁù�§£¬4-¦ñ&I¹&ä@N¬W ¥ªÔüˆ ¦ ÚÐñ{Œ°½qPˆ!�Ò*^�rÔîu8o7¶é>Á@løÕEù:î™óä2È5üÖß«¦`‚À“壟甧cšV˜*mžKå÷7 +1kUi{æ™F‰l'Á·ÉÙ±·É¸8*µÇ­ §3cüVIî Y}V§‰>Bíˆ$¿|XTõ¨ÊŽ¶žò­ Pîïv»Ò³��—„¿¹ÑŒy{æžú[džsÈY Ƙ²Sšóç·òµMÆrib,íìÓpL·:ˆ_Öº�35¹^ñ½‘ç`o7»I(ƒ¤¼ H_Ü‚Ó¯Ñf^hãê�î Xl�å„@‹´�0y>�v_ ¦Ã ƒoÂý\‘‚êôkri9 …’p¥;òàÑ]8o”Ç…F@xtÏLØ9î$ë*o)è�á*èÒoâ ÛÚ¨Uë�vkŒäyBÝ Z¬ón@ð?²QäùÕ»ßë vbÿ¾EþnhôF/\¡8­.Éd�‹n{ürÐ 3ÿÒ7M[šä Ûµj(^Ö­R0{@Ë�zÔ~s4‰×äÛ«ï5bÄ|sW}y�7Åðø£F endstream endobj 730 0 obj <> endobj 731 0 obj <>stream .â‡*•bd6Æ�Xç\ÿó.)Šç‚6é}àt¹‡"Õ~" ^ÎÌia.Ðr%7ì›$ Çiçï¹C�9ëÀÚ¸ò"õ~ z;Ã+ Û@eÒ)‚ªÈ\Ç=ÚÕ¤‘#hé±ÂæD[§§C&e~˜ ñn‘þNyzéTžÆnû´B!&{fÏUÁ+/�a÷íp³×½µÔTP¥à9,lG7�>©÷æÆÁ;¥6m˜ 8 B\ò‡R½'÷ŸN%`’–(o¥§�{©m„¥A&…À•xUE&ë­r›ÔD?Là-dIÀÛ9�jîÜÒâ:¤}²d¹…q–Íæâ dz‹ö¢¸¤¢ïõZ,#òá³íV•šh·ƒÖúýâû3Ï4žæÚs:S8Æ.O~ˆÛ„¾Òð-bÏ3–